BONE, KLIKWARTA.ID — Menanggapi informasi yang beredar di media sosial terkait adanya kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) di Kabupaten Bone hingga mencapai 300 persen, dengan ini disampaikan bahwa informasi tersebut tidak benar.
Kepala Dinas Kominfo dan Persandian Kabupaten Bone, Anwar, SH. MH., M.Si., menjelaskan bahwa penyesuaian zona nilai tanah hanya sekitar 65 persen.
Hal ini berdasarkan data fakta bahwa nilai PBB P2 pada tahun 2024 tercatat sebesar Rp30 miliar, sedangkan pada tahun 2025 menjadi Rp50 miliar.
Kenaikan ini terjadi karena adanya penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sesuai dengan zona nilai tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Artinya, kenaikan PBB P2 sebesar Rp20 miliar atau sekitar 65 persen. Jadi, isu kenaikan 300 persen tidak benar adanya,” tegas Anwar, dalam keterangannya kepada klikwarta.id, Selasa (19/8/2025)
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa nilai PBB P2 di lapangan memang bervariasi karena dipengaruhi oleh perbedaan zona nilai tanah.
Meski demikian, Pemerintah Kabupaten Bone melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) membuka ruang bagi masyarakat untuk mengajukan peninjauan kembali apabila merasa nilai PBB P2 yang dikenakan tidak wajar.
“Kami pastikan pemerintah daerah tetap memberikan ruang koreksi. Jika ada keberatan dari masyarakat, Bapenda siap melakukan penyesuaian nilai sesuai ketentuan yang berlaku,” lanjutnya.
Dengan demikian, masyarakat diimbau untuk tidak terpengaruh oleh isu yang tidak sesuai fakta dan tetap mengacu pada informasi resmi dari pemerintah daerah.
Diberitakan sebelumnya, penyesuaian Zona Nilai Tanah (ZNT) yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bone belakangan ini menuai perhatian publik. Dampaknya terasa langsung pada kenaikan nilai pajak yang harus dibayarkan masyarakat. Menanggapi hal tersebut, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bone memberikan penjelasan mendalam mengenai dasar dan tujuan Penyesuaian ZNT tersebut.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bone Kuncoro Bakti Hanum Prihanto melalui Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan, Debri Ardiansyah, menegaskan bahwa ZNT yang digunakan saat ini bukanlah kebijakan baru di tingkat daerah, melainkan acuan nasional yang sudah berlaku sejak tahun 2015.
“Peta Zona Nilai Tanah itu dibuat oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang di tingkat pusat, diteruskan ke Kantor Wilayah BPN Provinsi, lalu digunakan oleh seluruh Kantor Pertanahan di Indonesia. Di Bone, peta itu sudah kami gunakan sejak 2015 sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Tarif Pelayanan Pertanahan,” jelas Debri.
Menurutnya, Peta ZNT digunakan BPN sebagai dasar menentukan tarif layanan peralihan hak tanah, baik melalui jual beli, pewarisan, maupun pembaruan data pertanahan. Penentuan nilai tanah tidak lagi berbasis NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) semata, melainkan mengacu pada nilai riil di lapangan sebagaimana tertuang dalam peta zona yang telah ditetapkan kementerian.
Debri mengungkapkan, pada tahun 2021 pernah dilakukan pertemuan nasional yang melibatkan gubernur, bupati, Kantor Wilayah, hingga Kantor Pertanahan se-Indonesia. Pertemuan itu diprakarsai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menilai adanya potensi kerugian negara akibat NJOP yang tidak diperbarui secara berkala.
“KPK menilai NJOP yang selama ini digunakan pemerintah daerah banyak yang tidak pernah di-update, sehingga nilainya tidak sesuai harga pasar. Ini berpotensi mengurangi penerimaan pajak daerah. Karena itu, KPK mendorong agar pemerintah daerah memanfaatkan peta ZNT yang dibuat oleh Kementerian ATR/BPN,” tambahnya
Penyesuaian ini juga sejalan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2022, yang mendorong optimalisasi pendapatan asli daerah melalui pemutakhiran data nilai tanah.
Dengan demikian, Debri menegaskan bahwa penyesuaian ZNT bukan semata kebijakan lokal, melainkan hasil sinkronisasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga pengawasan seperti KPK untuk menciptakan nilai yang wajar dan transparan dalam sektor pertanahan.
Lebih lanjut, Debri Ardiansyah, memberikan penjelasan terkait pembagian Zona Nilai Tanah (ZNT) di wilayah Bone yang saat ini berjumlah 1.622 zona. Menurutnya, dalam satu zona bisa mencakup ratusan hingga ribuan bidang tanah, tergantung kondisi wilayah. Faktor utama yang membedakan nilai zona adalah keberadaan fasilitas umum, seperti jalan poros.
Proses penentuan Zona Nilai Tanah (ZNT) di daerah memiliki mekanisme yang ketat dan melibatkan tim khusus dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) serta Kantor Wilayah.
“Seluruh kabupaten dalam satu zona itu sudah termasuk beberapa ratus bahkan ribuan bidang tanah. Penilaian ini dibuat oleh tim tersendiri dari Kementerian Agraria dan Kantor Wilayah. Mereka inilah yang berhak menentukan berapa nilai tanah di satu zona,” jelas Debri.
Ia menambahkan, pembagian zona ini berpatokan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Perbedaan nilai tanah sangat dipengaruhi oleh lokasi. Misalnya, zona di pusat bisnis akan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan zona di perbatasan kabupaten yang terpencil.
Luas wilayah Kabupaten Bone mencapai 455.900 hektare. Dari jumlah itu, sekitar 330.000 hektare sudah tercover dalam penilaian ZNT. Adapun wilayah yang belum dinilai sebagian besar adalah kawasan hutan. Dengan sistem zonasi dan penilaian resmi tersebut, BPN Bone memastikan proses ini transparan, terukur, dan tidak diputuskan sepihak oleh pemerintah kabupaten.
Mengenai Penyesuaian Zona Nilai Tanah (ZNT) yang berdampak kepada kenaikan pajak daerah, Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bone, Debri Ardiansyah, menegaskan bahwa kewenangan terkait hal tersebut sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah. Menurut Debri, isu ini sudah menjadi perhatian serius secara nasional. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai adanya potensi kerugian negara akibat Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tidak diperbarui secara berkala.
“KPK menemukan banyak NJOP yang digunakan pemerintah daerah nilainya sudah tidak sesuai harga pasar, karena bertahun-tahun tidak di-update. Hal ini berpotensi mengurangi penerimaan pajak daerah,” ungkap Debri.
Dalam rekomendasinya, KPK mendorong agar pemerintah daerah memanfaatkan peta ZNT yang dibuat oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN sebagai acuan dalam pembaruan NJOP. Penyesuaian ini bukan hanya untuk menyesuaikan dengan kondisi pasar, tetapi juga untuk menutup potensi kebocoran pendapatan daerah. Upaya tersebut sebagai optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemutakhiran data nilai tanah secara berkala.
“Jadi, kalau ada penyesuaian ZNT, secara teknis BPN hanya menyediakan peta dan data nilai tanahnya. Soal apakah itu akan memengaruhi besaran pajak, sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah daerah,” jelas Debri. (*/rls)